MEMBANGUN ANAK INDONESIA

AKTE KELAHIRAN Pencatatan kelahiran merupakan hak asasi manusia yang mendasar. Fungsinya yang esensial adalah untuk melindungi hak anak menyangkut identitasnya. Pendaftaran kelahiran menjadi satu mekanisme pencatatan sipil yang efektif karena ada pengakuan eksistensi seseorang secara hukum. Pencatatan ini memungkinkan anak mendapatkan akte kelahiran. Ikatan keluarga si anak pun menjadi jelas. Artinya catatan hidup seseorang dari lahir, perkawinan hingga mati juga menjadi jelas. Bagi pemerintah, akte kelahiran membantu menelusuri statistik demografis, kecenderungan dan kesenjangan kesehatan. Dengan data yang komprehensif maka perencanaan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan serta program  pembangunan pun akan lebih akurat. Terutama yang menyangkut kesehatan, pendidikan, perumahan, air, kebersihan dan pekerjaan. Tetapi di Indonesia akte kelahiran tidak mendapat prioritas pemerintah atau masyarakat secara umum. Rupanya sistem pencatatan sipil di Indonesia yang tidak komprehensif menjadi kendala terbesar yang dihadapi dalam pelaksanaan pasal-pasal dalam UU Perlindungan Anak  tahun 2002 mengenai akte kelahiran gratis yang diwajibkan.    Kurang lebih 60 persen anak balita Indonesia tidak memiliki akte kelahiran. Bahkan setengah dari jumlah itu tidak terdaftar di manapun.  Kondisi ini memposisikan Indonesia menjadi salah satu negara terendah dalam hal pencatatan sipil dibandingkan  negara lainnya. Selain karena kurangnya pencatatan kelahiran yang komprehensif, birokrasi berbelit-belit dan sistem yang terlalu tersentralisir juga mengakibatkan masyarakat menjadi apatis untuk mencatatkan kelahiran anak mereka. Ada banyak kasus dimana oknum perantara mengambil keuntungan dari mekanisme pencatatan sipil ini. Akibatnya, orang harus membayar uang pelicin pada perantara dengan kisaran Rp100.000 sampai Rp800.000 (sekitar US$10 – US$80) untuk mengurusnya. Jelas ini membebani sebagian besar orang Indonesia. Situasi ini semakin rentan untuk pemalsuan identitas dan umur sehingga rawan terjadinya eksploitasi. Sementara itu, ketiadaan data demografis yang akurat dari pemerintah akan membuat pelaksanaan program kesehatan dan pendidikan, dan tentu bidang lainnya, tidak tepat. Kesehatan Kondisi kebersihan air dan lingkungan di sebagian besar daerah di Indonesia masih sangat buruk. Situasi ini menyebabkan tingginya kerawanan anak terhadap penyakit yang ditularkan lewat air.  Pada 2004, hanya 50 persen penduduk Indonesia yang mengambil air sejauh lebih dari 10 meter dari tempat pembuangan kotoran. Ukuran ini menjadi standar universal keamanan air. Di Jakarta, misalnya, 84 persen air dari sumur-sumur dangkal ternyata terkontaminasi oleh bakteri faecal coliform. negeri ini masih menghadapi tantangan untuk mengurangi anak-anak kekurangan gizi dan memperbaiki kesehatan ibu. Kematian ibu masih tinggi, yaitu 307 kematian dari tiap 100.000 orang. Kekurangan nutrisi mikro seperti misalnya yodium, vitamin A dan zat besi masih banyak terjadi. Terbukti 58 juta orang Indonesia tidak mengonsumsi garam beryodium. Sementara 70 persen ibu dan anak menderita anemia. Desentralisasi politis telah menyebabkan minimnya dana dan kemampuan pengelolaan layanan kesehatan di seluruh 33 propinsi dan 440 kabupaten. Tentu hal ini berdampak negatif pada bidang kesehatan terutama upaya imunisasi secara serentak di seluruh Indonesia. Imunisasi menunjukkan kemajuan sejak 1990an ketika jumlah anak usia 12-23 bulan mendapat imunisasi campak mencapai 72 persen. Tapi cakupan imunisasi di Indonesia sangat bervariasi dan wabah campak pun tidak lazim. Selain itu, kasus polio muncul lagi pada 2005 dengan 295 kasus selama 9 bulan pertama. Ini pertama kalinya sejak 1996. Satu dari lima Kabupaten beresiko tinggi terhadap tetanus pada bayi lahir dan ibu-ibu melahirkan. Sedangkan malaria berpengaruh pada sekitar 20 persen penduduk khususnya mereka di Indonesia timur. Dari 30 juta kasus malaria per tahun, hanya 10 persen yang ditangani dengan fasilitas kesehatan. Beberapa tahun belakangan, angka kasus endemi HIV/AIDS meningkat tajam di seluruh Indonesia. Wabah ini terutama dipicu oleh para penyalahguna narkoba suntik dan para pekerja seks komersil. Akibatnya, resiko tertular anak muda di Indonesia menjadi semakin tinggi. Bahkan menurut perkiraan, menjelang 2010 sekitar 110.000 orang Indonesia akan menderita atau meninggal karena AIDS. Sedangkan jutaan lainnya akan terjangkit HIV positif. Sementara itu prevalensi HIV di kalangan ibu hamil yang menjalani tes masih berada di bawah tiga persen. Sayangnya data untuk penduduk secara umum masih kurang.  Kendala utamanya adalah stigma, diskriminasi dan kurangnya pengetahuan masyarakat. Pada 2003, satu per tiga remaja putri dan satu per lima remaja putra usia antara 15-24 tahun ternyata belum pernah mendengar tentang HIV/AIDS. Situasi ini semakin parah karena obat anti retroviral sangat minim. Kecenderungan menunjukkan bahwa Indonesia dalam waktu dekat akan beresiko mengalami epidemi yang lebih besar. Peningkatan kasus penularan HIV di kalangan kelompok beresiko di beberapa daerah di Indonesia menjadi salah satu indikator potensi kenaikan yang cukup mengkhawatirkan.  Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mengenai penyakit menular ini melalui pendidikan dan advokasi masyarakat menjadi hal yang utama. Tujuannya untuk mencegah penyebaran epidemi ini lebih luas lagi. Kalau tidak, maka stigma, diskriminasi dan ketidaktahuan akan tetap menjadi kendala bagi upaya penanggulangan lebih jauh PENDIDIKAN Dalam 20 tahun terakhir Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai 94 persen. Meskipun demikian, negeri ini masih menghadapi masalah pendidikan yang berkaitan dengan sistem yang tidak efisien dan kualitas yang rendah. Terbukti, misalnya, anak yang putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak. Indonesia tetap belum berhasil memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, seperti misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran yang efektif, manajemen sekolah dan keterlibatan masyarakat. Sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun kurang mendapat akses aktifitas pengembangan dan pembelajaran usia dini terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman dan pedesaan. Anak-anak Indonesia yang berada di daerah tertinggal dan terkena konflik sering harus belajar di bangunan sekolah yang rusak karena alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai. Metode pengajaran masih berorientasi pada guru dan anak tidak diberi kesempatan memahami sendiri. Metode ini masih mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia. Ditambah lagi, anak-anak dari golongan ekonomi lemah tidak termotivasi dari pengalaman belajarnya di sekolah. Apalagi biaya pendidikan sudah relatif tak terjangkau bagi mereka. PERLINDUNGAN ANAK. Masalah serius yang dihadapi bangsa ini bagaimana membantu memulihkan hak-hak yang dimiliki anak-anak. Seperti mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan perkembangan yang layak. gejala bahwa anak yang membutuhkan perlindungan khusus, setiap tahunnya mengalami peningkatan. Masalah ini membutuhkan perhatian sangat serius dari semua pihak. Oleh karenanya, pemerintah telah melahirkan UU tentang Perlindungan Anak disusul dengan Keputusan presiden. KETENANGAN dan ketenteraman batin anak-anak merupakan bagian terpenting dalam keutuhan sebuah keluarga. Tak arif rasanya, bila seorang ibu atau ayah menelantarkan anak-anak hingga tercipta suasana rumah yang panas laiknya kobaran api ketika berinteraksi dengan buah hatinya. Namun, apa boleh buat, seiring berkembangnya zaman, orang tua pun seolah tidak mampu menghiasi suasana rumahnya dengan kegembiraan dan keceriaan. Alhasil, lingkungan rumah menjelma laiknya neraka bagi anak-anak. Dalam teori sosiologi, disebutkan bahwa keluarga merupakan satuan masyarakat terkecil dan penentu dari keberadaan sebuah komunitas. Oleh karenanya, agar terwujud sebuah kesatuan masyarakat, maka tidak bisa tidak, ketenangan (stabilitas) antar anggota keluarga pun harus terjaga hingga melahirkan suasana yang kondusif dan harmonis tentunya. Tanpa terwujudnya ketenangan, masyarakat ini bakal ”keropos” karena diisi oleh keluarga-keluarga yang terpecah dan pesakitan (sickness). MELIHAT keseriusannya, kita patut cemburu. Kondisi anak di Indonesia masih memprihatinkan, meski upaya perlindungan anak sudah lama dikerjakan. Ibu Mangunsarkoro sejak 1920 memeloporinya lewat Taman Siswa. Kini, delapan bulan setelah UU Perlindungan Anak Nomor 23/2002 diundangkan, kesadaran hak anak di negara ini masih rendah, bahkan masih banyak lembaga dan pihak terkait belum mengetahui keberadaan UU ini, apalagi menerapkannya. mitos yang dianggap mengganjal upaya perbaikan nasib anak Indonesia. Mitos-mitos ini menyebabkan orang dewasa gagal mempersepsi anak sebagai manusia, dan memperlakukan anak hanya sebagai obyek dalam keluarga, masyarakat, maupun negara. Berbagai lembaga dan legislasi nasional yang dibuat untuk melindungi hak anak pun ditengarai masih berperilaku serupa. Bagaimana ini terjadi? mitos yang dianggap mengganjal upaya perbaikan nasib anak Indonesia. Mitos-mitos ini menyebabkan orang dewasa gagal mempersepsi anak sebagai manusia, dan memperlakukan anak hanya sebagai obyek dalam keluarga, masyarakat, maupun negara. Berbagai lembaga dan legislasi nasional yang dibuat untuk melindungi hak anak pun ditengarai masih berperilaku serupa. Bagaimana ini terjadi? sejumlah mitos yang dianggap mengganjal upaya perbaikan nasib anak Indonesia. Mitos-mitos ini menyebabkan orang dewasa gagal mempersepsi anak sebagai manusia, dan memperlakukan anak hanya sebagai obyek dalam keluarga, masyarakat, maupun negara. Berbagai lembaga dan legislasi nasional yang dibuat untuk melindungi hak anak pun ditengarai masih berperilaku serupa. Bagaimana ini terjadi? Harus dipahami, perjuangan hak anak tumbuh seiring pengakuan terhadap nilai-nilai humanisme universal. Hak asasi anak merupakan bagian hak asasi manusia. Upaya perlindungan anak diberikan dalam kesadaran, anak belum punya kapasitas legal untuk melakukan sesuatu yang berimplikasi hukum. Karena itu, negara wajib melindungi hak anak, tanggung jawab pelaksanaannya diserahkan kepada orangtua dan masyarakat. Namun, filsafat humanisme yang dibawa sistem kapitalisme modern yang kita anut kini mendorong tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang memihak kebebasan individual dan memprioritaskan kebutuhan individu di atas relasi sosial. Dalam praktiknya, nilai-nilai humanistik sering menyerah pada dorongan kebutuhan individual yang menghasilkan keuntungan lebih besar. Individualitas juga merasuk dalam kesadaran manusia dan mendominasi struktur relasi antarmanusia, hingga mampu menggeser nilai-nilai luhur dalam relasi orangtua dan anak. Apalagi globalisasi yang dimotivasi kapitalisme memaksa manusia untuk kreatif mengapitalisasi apa pun demi mendapat laba. Tentu saja anak, dalam posisinya yang lemah secara fisik, sosial, maupun hukum, menjadi pilihan yang amat atraktif untuk dikapitalkan. Kondisi ini diperkeruh apresiasi budaya atau agama yang menerjemahkan hubungan orangtua–anak dalam relasi subordinat, di mana orangtua adalah pihak yang bertanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak. Orangtua lalu merasa berhak melakukan apa pun terhadap anaknya melalui berbagai dalih agama dan budaya, termasuk prinsip "demi kebaikan anak". Orangtua juga sering sulit melepas identifikasi dirinya dalam diri anak. Anak dianggap mengemban aneka obsesi dan harapan yang ingin ia capai. Akibatnya, konsep "demi kebaikan anak" sering menjelma menjadi "demi kebaikan orangtua".   Semua berawal dari satu hal, investasi pada anak-anak", dalam pidato pembukaan pertemuan Konsultasi Tingkat Menteri se-Asia Timur dan Pasifik tentang Anak awal Mei lalu (Kompas, 11/5/03). Ungkapan "investasi pada anak-anak" harus dibaca hati-hati, mengingat istilah investasi amat berbau ekonomi. Pertimbangan utama dalam investasi adalah keuntungan investor. Investasinya jelas diperlakukan sebaik mungkin, namun tujuan akhir tetap kepentingan investor. Bila logika ini terus digunakan, pemaknaan eksploitatif inilah yang masuk ke bawah sadar manusia dan mengendalikan perilaku tanpa kita sadari. Pada kenyataannya, manusia sering memperlakukan anak sebagai properti, simbol prestise, atau atribut standar dari statusnya sebagai manusia dewasa. Misalnya, dengan menjadikan anak sebagai alasan untuk menikah atau mempertahankan perkawinan. Padahal, anak punya hak untuk tumbuh dalam rumah tangga yang sehat sejahtera secara psikologis. Hak ini sering terlanggar saat istilah "kepentingan terbaik untuk anak" ditafsirkan secara egois demi kepentingan (calon) orangtuanya. Sudah waktunya unsur hak anak masuk dalam persyaratan perkawinan, terutama bagi pasangan yang berniat punya anak. Mereka harus paham, mampu, dan bersedia memenuhi hak anak agar anak tak lagi jadi aset atau dekor rumah tangga belaka. Rapuhnya perlindungan anak di Indonesia juga disebabkan selama ini isu anak diperlakukan bak burung dalam sangkar. Orang tertarik berpartisipasi karena "anak" adalah isu yang eksotik, segala dukungan fasilitas dan dana relatif mudah diperoleh karena manusia mudah tersentuh perasaannya bila menyangkut urusan anak. Selain itu, isu anak dianggap soft issue karena lebih bermuatan sosial atau amal, dan relatif apolitis. Padahal, kekuatan posisi tawar amat signifikan bagi keberhasilan gerakan ini. Lemahnya dukungan politik membuat gerakan ini dimanfaatkan sebagai fungsi sublimasi dari aneka kepentingan selain kepentingan anak, misalnya, pengumpulan simpati politik, popularitas, promosi jabatan, uang, atau surga. Pertanyaannya kini, apa yang membuat masalah anak menjadi signifikan hingga butuh banyak perhatian, mulai dari budaya sampai politik? Jawabnya, karena penyelesaian separuh hati atau sekadar seremonial justru membahayakan perkembangan emosi dan struktur kepribadian anak. Artinya, cita-cita perbaikan nasib anak bakal makin jauh melayang. Ketika fungsi-fungsi perlindungan anak gagal dilaksanakan orangtua atau masyarakat, peran negara kembali penting. Salah satu isi UU Perlindungan Anak No 23/2002 adalah pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Lembaga ini diharapkan berperan seperti Komnas HAM, dengan konsentrasi pada masalah anak. Di luar beberapa kelemahan materiil dari konsep KPAI, lembaga ini perlu didukung, setidaknya atas dua alasan. Pertama, untuk menjamin negara dan perangkatnya menjalankan fungsi pelindung hak anak sebagaimana tertuang dalam UU dengan serius dan bertanggung jawab. Kedua, guna memastikan isu anak tidak dimarjinalisasi sebagai pekerjaan departemen sosial atau pemberdayaan perempuan, tetapi juga menjadi agenda wajib tiap institusi pengambil kebijakan. Misalnya, dengan membuat analisis dan pernyataan tentang pengaruh suatu kebijakan terhadap anak (child impact statement), yang lalu dioperasionalkan dalam anggaran. Kriteria keseriusan negara dalam melindungi hak anak akan terlihat dari seberapa jauh analisis ini dijadikan prioritas pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.   KPAI juga harus mendorong keterlibatan anak dalam berbagai kegiatan atau pengambilan keputusan yang menyangkut nasibnya. Penguatan partisipasi anak tak hanya penting untuk merangsang sensitivitas sosial dan kemampuan toleransi, tetapi juga melatih anak bertanggung jawab atas keputusan yang diambil bersama. Ini bukan konsep khayalan. Tahun 1996, di Lebanon, sejumlah anak berusia 16–18 tahun berpartisipasi dalam sidang parlemen yang membahas masalah anak, seperti pendidikan dan kesehatan. Hasilnya positif karena sejak itu masalah anak menjadi isu politik serius di Lebanon. Ini sejalan prinsip dasar hak anak yang juga termuat dalam UU No 23/2002, yaitu penghargaan terhadap partisipasi anak. Parlemen Anak, sedikitnya merupakan langkah awal. Mungkin suatu saat, pendapat anak dalam berbagai isu, seperti RUU Sisdiknas atau Panja Sukhoi, bisa diperhitungkan, mengingat baik Depdiknas maupun Bulog adalah institusi yang amat relevan dengan kesejahteraan mereka. Di Indonesia, penerapan total hak anak masih jauh dari sempurna, namun langkah ke sana harus diambil. Bagaimanapun, anak tidak bertanggung jawab atas perilaku kita. Sebaliknya, mereka dipastikan mewarisi masalah akibat perbuatan kita saat ini. Seperti dinyatakan White Lion dalam lagu When The Children Cry, ...what have we become…just look what we have done…all that we destroyed… you must build again….

No comments:

Post a Comment